Rabies, Endemi yang harus hilang di tahun 2030

Bali, Wartasiana| Hari Rabies Dunia diperingati tanggal 28 September setiap tahunnya untuk meningkatkan kewaspadaan soal risiko rabies dan WHO menargetkan agar dunia bisa bebas rabies pada tahun 2030.

Tapi rabies masih dianggap sebagai ancaman kesehatan di Indonesia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat rabies masih berstatus endemi di 26 provinsi pada tahun lalu, meski penyakit ini bisa dicegah dengan vaksinasi.

Jumlah kasus rabies terbanyak tercatat di Bali, meski pemerintah daerah sudah menyediakan vaksin anti-rabies gratis, menurut para pengamat.

drh. Soeharsono saat ditemui di kediamannya, Jimbaran, Bali

drh. Soeharsono seorang praktisi dan pensiunan penyidik penyakit hewan di Denpasar, Bali mengatakan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur tertular rabies pada 1998, sedangkan Bali 2008.

Sampai kini belum ada tanda-tanda rabies akan lenyap. Ratusan orang telah meninggal di NTT dan Bali.

Pada tahun 2023 berdasarkan data ang dirilis Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyebutkan, kasus gigitan anjing di Bali pada Januari-November 2023 mencapai 62.672 orang (tertinggi di Indonesia).

Sebagian besar kasus gigitan dapat diselamatkan melalui pemberian VAR atau VAR/SAR, sementara 9 orang meninggal.

Kabupaten Sikka, NTT, menyatakan kejadian luar biasa rabies (Maret 2024) karena antara Januari dan Maret 2024 terjadi kenaikan kasus anjing positif rabies 19 ekor, gigitan anjing 510 orang, dan meninggal 2 orang.

Tidak terhitung biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi rabies selama ini, tetapi masih jauh dari berhasil.

“Rantai penularan rabies di Bali terjadi pada anjing (termasuk anak anjing) tidak bertuan (ownerless) karena sulit ditangkap, tersebar luas (di semak-semak, TPA, pasar, dan lain-lain), dan sulit dijangkau tenaga vaksinator. Anjing tidak bertuan merupakan bagian hulu rabies. Anjing ini menularkan rabies ke orang dan anjing bertuan, tetapi dibiarkan berkeliaran,” ujarnya.

Tidak banyak negara berhasil membebaskan diri dari rabies. Pelajaran eradikasi rabies di Inggris (1902) dan Jepang (1957) menggambarkan fokus penanganan harus dilakukan melalui eliminasi stray dogs.

Dr Scott dan Dr Chalmers (guru penulis di Edinburgh 1977) menulis, untuk mencapai bebas secara berkelanjutan, negara/wilayah/pulau tertular rabies harus melakukan constant removal of stray dogs.

“Ajaran guru terbukti saat dilakukan eliminasi stray dogs di Pulau Nusa Penida, dalam lima hari (2010), daerah tersebut bebas rabies sampai kini,” katanya menegaskan.

“Sebaiknya NTT dan Bali melakukan eliminasi secara humanis, yakni eutanasia straydogs,” ujarnya seraya memberikan masukkan kepada Pemerintah Daerah khususnya Provinsi Bali.

Diperlukan tenaga terlatih eutanasia lewat penyuntikan intra-vena, menggunakan bahan khusus, tersedia di Indonesia.

Berkaitan World Rabies Day, 28 September 2024, bertema ”Breaking Rabies Boundaries”, kita perlu ”melompat ke depan” melebihi tindakan utama vaksinasi, diganti eutanasia stray dogs, baru vaksinasi anjing berpemilik.

“Melalui eutanasia, diprediksi NTT dan Bali bebas dari rabies sebelum 2030,” pungkasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *